Ditulis
dalam kamar yang sempit dan ditengah udara panas kota Semarang. Dalam tulisan
ini saya akan membagikan pemikiran saya tentang keterwakilan perempuan dalam
parlemen(:baca DPR).
Pemilu
2004 mengatur penjaminan 30 % kuota perempuan
dalam daftar calon yang diajukan partai. Hal ini diatur dalam UU no.12 tahun
2003 pasal 65 ayat (1). Bunyi pasal tersebut menerangkan bahwa setiap partai
politik dalam mengajukan calon anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD
kabupaten/kota harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Bagi yang cermat pada kata-kata dalam UU tersebut, kata “memperhatikan” tidak
menjadi aturan tegas bagi partai untuk bersungguh ikut menyukseskan peningkatan
jumlah partisipasi perempuan di parlemen.
Pada
tahun 2008, keluarlah UU no 10 tahun 2008 yang sedikit lebih ramah bagi kaum
perempuan. Pada pasal 8 huruf d pada UU tersebut, parpol diwajibkan menyertakan
minimal 30% perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat. Lebih dari itu, pasal
53 pada UU yang sama, UU mensyaratkan bahwasanya daftar bakal calon memuat
paling sedikit 30% keterwakilan didalammnya. Dan upaya tersebut masih diperkuat
dengan pasal 55 ayat 2 yang mensyaratkan bahwa didalam daftar calon untuk
setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 bakal calon anggota parlemen
berjenis kelamin perempuan.
Beberapa affirmative
action juga dilakukan untuk
meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen, antara lain pada pemilu
2004 diadakan formula penggabungan antara sistem kuota dengan aturan nomer
urut. Sedang pada pemilu 2009, affirmative
action yang dilakukan adalah penggunaan penggabungan sistem kuota,
aturan nomer urut dan zipper system.
Berbagai
upaya dilakukan untuk mendongkrak keterwakilan perempuan di parlemen. Dari beberapa
tindakan yang dilakukan, pada hasil pemilu 2004, keterwakilan perempuan di DPR
(jumlah anggota perempuan) hanya sebesar 11,5%. Sedang hasil 2009 terdapat
sedikit peningkatan. Hasil pemilu 2009 menempatkan 18% jumlah anggota perempuan
dari keseluruhan anggota terpilih.
Menurut
Hj. Melani Leimena Suharli, wakil
ketua MPR RI, sedikitnya perwakilan perempuan di parlemen didasari oleh
beberapa alasan. Antara lain belum adanya kesejajaran antara laki-laki dan
perempuan dalam hal masalah budaya politik di Indonesia. Alasan kedua adalah
minimnya kaderisasi dan proses kepemimpinan dalam partai politik bagi
perempuan. Yang ketiga, perempuan Indonesia memiliki kelemahan dalam membuat
jaringan baik lokal, nasional maupun internasional. Yang terakhir disebutnya, lemahnya
kemampuan ekonomi perempuan turut menjadi penyebab rendahnya keterwakilan
perempuan.
Bagi
saya, upaya peningkatan dan hasrat menempatkan perempuan dalam parlemen akan
menemui banyak kendala. Salah satu kendala utamanya adalah dengan
diberlakukannya sistem proporsional terbuka, maka pemilih lah yang berkuasa
menentukan siapa yang akan duduk di perlemen. UU hanya menjamin sebatas sampai
dengan daftar calon yang minimal memuat 30% calon perempuan, bukan menentukan
besaran yang duduk di parlemen nantinya.
Upaya
demi upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen harus diimbangi dengan pembangunan perdidikan
dan karekter politik bagi mereka yang di tempatkan sebagai calon. Ini menjadi
ranah bagi partai politik dalam menjalankan proses kaderisasi. Perekrutan calon
perempuan yang tidak memiliki kemampuan dalam politik akan menjadi boomerang
sendiri bagi demokrasi di negeri ini. Beberapa contoh terpapar jelas berapa
jumlah anggota parlemen perempuan yang sekarang terjerat kasus korupsi. Bukan
berarti pula, saya pesismis dan membenarkan semua kelakuan anggota parlemen
berjenis kelamin laki-laki yang juga banyak melakukan pelanggaran baik norma
hukum dan kesopanan.
Selamat
berjuang menggoreskan sejarah para perempuan Indonesia.
Khanif
Idris
Mahasiswa
jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNDIP
Diambil dari berbagai sumber:
1.
Bahan
kulian partisipasi politik serta bahan
kuliah manajemen parpol&pemilu(dra. Fitriyah MA)
2.
MAJELIS
edisi NO.04/TH.VI/APRIl 2012
Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
BalasHapustetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D
afirmasi juga tidak hanya terkait jumlah tapi jg mendorong perempuan di partai politik misalnya lebih punya ruang utk mengakses mekanisme pengambilan kebijakan di internal parta. sehingga menjadi pembelajaran seblm bergelut dalam kerja2 legislasi di dewan nantinya.
BalasHapuspartai jg mau melakukan kerja pengkaderan yg serius misalnya pelatihan kepemimpinan, mengakseskan kerja penjangkauan agt dewan dgn melibatkan kader partai, terutama perempuan.
semangat yaa! perempuan mampu kok! :)
mantap..
BalasHapussaya setuju bahwa mekanisme pengkaderan perempuan di partai harus dibenahi, agar azas equality dapat terwujud.
setidaknya 30% kuota untuk perempuan duduk di DPP sebuah partai benar-benar diawasi dan dimanfaatkan oleh para perempuan.
yang saya heran kenapa harus ada UU seperti itu. dg kondisi demokrasi yang kita amini sekarang ini, membuat UU yang mengatur partai terkait harus menyertakan perempuan adalah pelanggaran. kenapa sesuatu yang bukan masalah malah di UU kan. kalo hukum d negara ini sudah mengakui kesetaraan gender, knp terkait pemilu d atur ttg keharusan partai menyertakan calon perempuan. kalo tingkat partisipasi perempuan dalam mencalonkan diri dalam pemilu rendah, yang salah adalah perempuan. udah dikasih kebebasan kok g di gunakan. dan hipotesanya adalh:
BalasHapus1. mungkin perempuan apatis dg dunia politik
2. mungkin perempuan ngerasa g cocok dg politik (bukan dunianya)
3 mungkin perempuan g suka di sayang dan d pilih sama rakyat,krn sukanya di sayang dan dipilih oleh suaminya saja. hahaha
dan solusinya agar tingkat partisipasi perempuan dalam pencalonan pemilu tinggi adalah, kemendiknas membuat aturan agar setiap PT membuka jurusan politik/pemerintahan
itulah maka disebut affirmative action..
BalasHapustujuan utamanya ya kesetaraan gender, karena memang d Indonesia kalo ga d fasilitasi seperti itu, mungkin kesetaraan gender akan susah dilakukan..
dan catatan yang saya tulis adalah salah satunya pendidikan politik, agar perempuan yang telah dan akan duduk di DPR dapat mengenrti fungsi dan tugasnya...:D