Facebook

Senin, 14 Mei 2012

Perempuan dan Parlemen


Ditulis dalam kamar yang sempit dan ditengah udara panas kota Semarang. Dalam tulisan ini saya akan membagikan pemikiran saya tentang keterwakilan perempuan dalam parlemen(:baca DPR).
Pemilu 2004 mengatur penjaminan  30 % kuota perempuan dalam daftar calon yang diajukan partai. Hal ini diatur dalam UU no.12 tahun 2003 pasal 65 ayat (1). Bunyi pasal tersebut menerangkan bahwa setiap partai politik dalam mengajukan calon anggota DPR, DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Bagi yang cermat pada kata-kata dalam UU tersebut, kata “memperhatikan” tidak menjadi aturan tegas bagi partai untuk bersungguh ikut menyukseskan peningkatan jumlah partisipasi perempuan di parlemen.

Pada tahun 2008, keluarlah UU no 10 tahun 2008 yang sedikit lebih ramah bagi kaum perempuan. Pada pasal 8 huruf d pada UU tersebut, parpol diwajibkan menyertakan minimal 30% perempuan dalam kepengurusan tingkat pusat. Lebih dari itu, pasal 53 pada UU yang sama, UU mensyaratkan bahwasanya daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan didalammnya. Dan upaya tersebut masih diperkuat dengan pasal 55 ayat 2 yang mensyaratkan bahwa didalam daftar calon untuk setiap 3 bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 bakal calon anggota parlemen berjenis kelamin perempuan.
 Beberapa affirmative action  juga dilakukan untuk meningkatkan angka keterwakilan perempuan di parlemen, antara lain pada pemilu 2004 diadakan formula penggabungan antara sistem kuota dengan aturan nomer urut. Sedang pada pemilu 2009,   affirmative action yang dilakukan adalah penggunaan penggabungan sistem kuota, aturan  nomer urut dan zipper system.
Berbagai upaya dilakukan untuk mendongkrak keterwakilan perempuan di parlemen. Dari beberapa tindakan yang dilakukan, pada hasil pemilu 2004, keterwakilan perempuan di DPR (jumlah anggota perempuan) hanya sebesar 11,5%. Sedang hasil 2009 terdapat sedikit peningkatan. Hasil pemilu 2009 menempatkan 18% jumlah anggota perempuan dari keseluruhan anggota terpilih.
Menurut Hj. Melani Leimena Suharli, wakil ketua MPR RI, sedikitnya perwakilan perempuan di parlemen didasari oleh beberapa alasan. Antara lain belum adanya kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam hal masalah budaya politik di Indonesia. Alasan kedua adalah minimnya kaderisasi dan proses kepemimpinan dalam partai politik bagi perempuan. Yang ketiga, perempuan Indonesia memiliki kelemahan dalam membuat jaringan baik lokal, nasional maupun internasional. Yang terakhir disebutnya, lemahnya kemampuan ekonomi perempuan turut menjadi penyebab rendahnya keterwakilan perempuan.
Bagi saya, upaya peningkatan dan hasrat menempatkan perempuan dalam parlemen akan menemui banyak kendala. Salah satu kendala utamanya adalah dengan diberlakukannya sistem proporsional terbuka, maka pemilih lah yang berkuasa menentukan siapa yang akan duduk di perlemen. UU hanya menjamin sebatas sampai dengan daftar calon yang minimal memuat 30% calon perempuan, bukan menentukan besaran yang duduk di parlemen nantinya.
Upaya demi upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen  harus diimbangi dengan pembangunan perdidikan dan karekter politik bagi mereka yang di tempatkan sebagai calon. Ini menjadi ranah bagi partai politik dalam menjalankan proses kaderisasi. Perekrutan calon perempuan yang tidak memiliki kemampuan dalam politik akan menjadi boomerang sendiri bagi demokrasi di negeri ini. Beberapa contoh terpapar jelas berapa jumlah anggota parlemen perempuan yang sekarang terjerat kasus korupsi. Bukan berarti pula, saya pesismis dan membenarkan semua kelakuan anggota parlemen berjenis kelamin laki-laki yang juga banyak melakukan pelanggaran baik norma hukum dan kesopanan.
Selamat berjuang menggoreskan sejarah para perempuan Indonesia.

Khanif Idris
Mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNDIP

Diambil dari berbagai sumber:
1.    Bahan kulian partisipasi politik  serta bahan kuliah manajemen parpol&pemilu(dra. Fitriyah MA)
2.    MAJELIS edisi NO.04/TH.VI/APRIl 2012

5 komentar:

  1. Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
    tetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D

    BalasHapus
  2. afirmasi juga tidak hanya terkait jumlah tapi jg mendorong perempuan di partai politik misalnya lebih punya ruang utk mengakses mekanisme pengambilan kebijakan di internal parta. sehingga menjadi pembelajaran seblm bergelut dalam kerja2 legislasi di dewan nantinya.
    partai jg mau melakukan kerja pengkaderan yg serius misalnya pelatihan kepemimpinan, mengakseskan kerja penjangkauan agt dewan dgn melibatkan kader partai, terutama perempuan.
    semangat yaa! perempuan mampu kok! :)

    BalasHapus
  3. mantap..
    saya setuju bahwa mekanisme pengkaderan perempuan di partai harus dibenahi, agar azas equality dapat terwujud.
    setidaknya 30% kuota untuk perempuan duduk di DPP sebuah partai benar-benar diawasi dan dimanfaatkan oleh para perempuan.

    BalasHapus
  4. yang saya heran kenapa harus ada UU seperti itu. dg kondisi demokrasi yang kita amini sekarang ini, membuat UU yang mengatur partai terkait harus menyertakan perempuan adalah pelanggaran. kenapa sesuatu yang bukan masalah malah di UU kan. kalo hukum d negara ini sudah mengakui kesetaraan gender, knp terkait pemilu d atur ttg keharusan partai menyertakan calon perempuan. kalo tingkat partisipasi perempuan dalam mencalonkan diri dalam pemilu rendah, yang salah adalah perempuan. udah dikasih kebebasan kok g di gunakan. dan hipotesanya adalh:
    1. mungkin perempuan apatis dg dunia politik
    2. mungkin perempuan ngerasa g cocok dg politik (bukan dunianya)
    3 mungkin perempuan g suka di sayang dan d pilih sama rakyat,krn sukanya di sayang dan dipilih oleh suaminya saja. hahaha

    dan solusinya agar tingkat partisipasi perempuan dalam pencalonan pemilu tinggi adalah, kemendiknas membuat aturan agar setiap PT membuka jurusan politik/pemerintahan

    BalasHapus
  5. itulah maka disebut affirmative action..
    tujuan utamanya ya kesetaraan gender, karena memang d Indonesia kalo ga d fasilitasi seperti itu, mungkin kesetaraan gender akan susah dilakukan..
    dan catatan yang saya tulis adalah salah satunya pendidikan politik, agar perempuan yang telah dan akan duduk di DPR dapat mengenrti fungsi dan tugasnya...:D

    BalasHapus