Facebook

Senin, 16 Maret 2015

Pisah Ranjang


Pascapenetapan pemenang pemilihan Presiden tengah tahun lalu, konstelasi politik negeri ini tak kunjung menunjukan penurunan tensinya. Mulai dari konflik yang terjadi pada saat dan pascapemilihan pimpinan lembaga legislatif, hingga wacana penolakan pelantikan pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, walau pada akhirnya patut kita syukuri isu tersebut urung terjadi.
Akhir-akhir ini kondisi perpolitikan kita justru makin naik suhunya, berbarengan dengan diselenggarakannya musyawarah nasional beberapa partai yang hampir bersamaan. Sebut saja seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (Golkar), hingga yang terbaru Partai Amanat Nasional (PAN). Masing-masing musyawarah nasional partai, atau dengan nomenklatur berbeda, memiliki gejolak internal masing-masing dengan karakteristik yang berbeda pula satu dengan lainnya. Pada Muktamar PAN, perebutan tampuk kepemimpinan berjalan lancar, walau konon ada kericuhan kecil di dalamnya. Sedang di tubuh PPP dan Golkar, masing-masing partai justru memiliki dua acara yang mempunyai tujuan yang sama, tetapi diselenggarakan oleh dan di tempat yang berbeda. Unik memang.

Dalam tulisan ini saya tidak akan banyak menulis tentang kaidah hukum beserta alasan kenapa Kementrian Hukum dan HAM mengesahkan salah satu dari dua hasil musyawarah nasional dari dua partai yang berbeda ini, tapi saya akan membahas bagaimana sikap politisi yang ada di dalam masing-masing partai, hingga terjadinya perpecahan dalam mahligai kepartaian. Kita tahu, bahwa kedua partai ini, Golkar dan PPP pada pilpres lalu adalah bagian dari koalisi pendukung pasangan calon Presiden Prabowo- Hatta. Menurut saya,   perpecahan dua partai ini, baik dalam internal Golkar maupun PPP, lebih didasari pada perbedaan pendapat antar pengurus partai, apakah akan tetap ada di Koalisi pendukung Prabowo, atau berpindah ke koalisi pendukung pemerintahan Jokowi.
Realistis memang, selain tujuan mulia menyejahterakan rakyat, tujuan menjadi politisi juga sah-sah saja jika ingin menduduki jabatan di pemerintahan. Hal ini juga pernah dirumuskan oleh beberapa ahli tentang apa dan bagaimana tujuan berpartai politik. Seperti kata Carl J. Friedrich, seperti yang dikutip oleh Dahl, Ia mendefinisikan partai politik sebagai sekolompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan pada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.[1] Disebut pula dalam pendefinisian diatas, manfaat idiil seperti penanaman ideologi juga harus seimbang dengan manfaat materiil yang didapat oleh anggota partai.
Kecenderungan diatas, kemudian dapat saya simpulkan, bahwa pecahnya kongsi dalam partai politik dapat pula disebabkan oleh keinginan beberapa anggota maupun pengurus partai yang ingin menjadi bagian pemerintahan, memiliki jabatan, atau bahasa klisenya ingin lebih riil ikut aktif dalam upaya mensejahterakan rakyat. Semoga. Bak sebuah rumah tangga, berpartai juga dibangun atas kepercayaan, visi-misi, komitmen serta tujuan hidup yang sama. Apalah dikata, jika ada pihak ketiga yang datang menggoda membawa segalanya, bisa-bisa  pisah ranjang pula jadinya.

Tembalang, 16 Maret 2015



[1] Dahl,  Robert A. Perihal Demokrasi, Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat (terjemahan). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 404

Tidak ada komentar:

Posting Komentar