Pascapenetapan
pemenang pemilihan Presiden tengah tahun lalu, konstelasi politik negeri ini
tak kunjung menunjukan penurunan tensinya. Mulai dari konflik yang terjadi pada
saat dan pascapemilihan pimpinan lembaga legislatif, hingga wacana penolakan
pelantikan pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, walau pada akhirnya patut kita
syukuri isu tersebut urung terjadi.
Akhir-akhir
ini kondisi perpolitikan kita justru makin naik suhunya, berbarengan dengan
diselenggarakannya musyawarah nasional beberapa partai yang hampir bersamaan.
Sebut saja seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golongan Karya
(Golkar), hingga yang terbaru Partai Amanat Nasional (PAN). Masing-masing
musyawarah nasional partai, atau dengan nomenklatur berbeda, memiliki gejolak
internal masing-masing dengan karakteristik yang berbeda pula satu dengan lainnya.
Pada Muktamar PAN, perebutan tampuk kepemimpinan berjalan lancar, walau konon
ada kericuhan kecil di dalamnya. Sedang di tubuh PPP dan Golkar, masing-masing
partai justru memiliki dua acara yang mempunyai tujuan yang sama, tetapi
diselenggarakan oleh dan di tempat yang berbeda. Unik memang.
Dalam
tulisan ini saya tidak akan banyak menulis tentang kaidah hukum beserta alasan
kenapa Kementrian Hukum dan HAM mengesahkan salah satu dari dua hasil
musyawarah nasional dari dua partai yang berbeda ini, tapi saya akan membahas
bagaimana sikap politisi yang ada di dalam masing-masing partai, hingga
terjadinya perpecahan dalam mahligai kepartaian. Kita tahu, bahwa kedua partai
ini, Golkar dan PPP pada pilpres lalu adalah bagian dari koalisi pendukung
pasangan calon Presiden Prabowo- Hatta. Menurut saya, perpecahan dua partai ini, baik dalam internal
Golkar maupun PPP, lebih didasari pada perbedaan pendapat antar pengurus
partai, apakah akan tetap ada di Koalisi pendukung Prabowo, atau berpindah ke
koalisi pendukung pemerintahan Jokowi.
Realistis
memang, selain tujuan mulia menyejahterakan rakyat, tujuan menjadi politisi
juga sah-sah saja jika ingin menduduki jabatan di pemerintahan. Hal ini juga
pernah dirumuskan oleh beberapa ahli tentang apa dan bagaimana tujuan berpartai
politik. Seperti kata Carl J. Friedrich, seperti yang dikutip oleh Dahl, Ia mendefinisikan
partai politik sebagai sekolompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan pada anggota
partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.[1] Disebut
pula dalam pendefinisian diatas, manfaat idiil seperti penanaman ideologi juga
harus seimbang dengan manfaat materiil yang didapat oleh anggota partai.
Kecenderungan
diatas, kemudian dapat saya simpulkan, bahwa pecahnya kongsi dalam partai
politik dapat pula disebabkan oleh keinginan beberapa anggota maupun pengurus
partai yang ingin menjadi bagian pemerintahan, memiliki jabatan, atau bahasa
klisenya ingin lebih riil ikut aktif dalam upaya mensejahterakan rakyat. Semoga.
Bak sebuah rumah tangga, berpartai juga dibangun atas kepercayaan, visi-misi,
komitmen serta tujuan hidup yang sama. Apalah dikata, jika ada pihak ketiga
yang datang menggoda membawa segalanya, bisa-bisa pisah ranjang pula jadinya.
Tembalang,
16 Maret 2015
[1] Dahl, Robert A. Perihal Demokrasi,
Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat (terjemahan).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm. 404
Tidak ada komentar:
Posting Komentar